Pengertian Matan

Diposting pada

Pengertian Matan

secara etimologis berarti segala sesuatu yang keras bagian atasnya, punggung jalan (muka jalan), tanah keras yang tinggi. Matan kitab adalah yang bersifat komentardan bukan tambahan-tambahan penjelasan. Bentuk jamaknya adalah (متون) “mutun” dan (متان)”mitan”. MATAN secara terminologis adalah redaksi hadits yang menjadi unsur pendukung pengertiannya.
Baca Juga : Ya Latif
Penamaan seperti itu barangkali didasarkan pada alasan bahwa bagian itulah yang tampak dan yang menjadi sasaran utama hadits. Jadi penamaan itu diambil dari pengertian etimologisnya. Adapun yang disebut matan dalam ilmu hadist adalah,
ماا نتهى ء ليه السند من الكلا م فهو نفس ا لحد يث الذ ي ذ كرالا سنا دله
Perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW.
Yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya.
Dengan kata lain, matan adalah redaksi dari hadist. Inilah contoh yang dinamakan matan hadist : Terkait dengan matan atau redaksi, yang perlu dicermati dalam memahami hadist adalah :
  1. Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan,
  2. Matan hadist itu sendiri dalam hubungannya dengan hadist lain yang lebih kuat dengan hadist lain yang lebih kuat sanad-nya ( apakah ada yang melemahkan atau yang menguatkan ) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al-quran ( apakah ada yang bertolak belakang )

Sebab-sebab Terjadinya Perbedaan Kandungan Matan

Yang dimaksud dengan “kandungan matan” di sini adalah teks yang terdapat di dalam matan suatu Hadits mengenai suatu peristiwa, atau pernyataan, yang disandarkan kepada Rasul SAW. Atau, tegasnya, kandungan matan adalah redaksi dari matan suatu Hadits.
Baca Juga : Hadis Arbain
Penyebab utama terjadinya perbedaan kandungan matan suatu Hadits adalah karena adanya periwayatan Hadits secara makna (riwayat bi al-ma’na), yang telah berlangsung sejak masa Sahabat, meskipun di kalangan para Sahabat sendiri terdapat kontroversi pendapat mengenai periwayatan secara makna tersebut. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan diuraikan mengenai penyebab utama terjadinya perbedaan kandungan matan Hadits tersebut.

Periwayatan Hadits Secara Makna

Sering dijumpai di dalam kitab-kitab Hadits perbedaan redaksi dari matan suatu Hadits mengenai satu masalah yang sama. Hal ini tidak lain adalah karena terjadinya periwayatan Hadits yang dilakukan secara maknanya saja (riwayat bi al-ma’na), bukan berdasarkan redaksi yang sama sebagaimana yang diucapkan oleh Rasulullah SAW.
Jadi, periwayatan Hadits yang dilakukan secara makna, adalah penyebab terjadinya perbedaan kandungan atau redaksi matan dari suatu Hadits.

Beberapa Ketentuan dalam Periwayatan Hadits Secara Makna

Para Ulama berbeda pendapat mengenai apakah selain Sahabat boleh meriwayatkan Hadits secara makna, atau tidak boleh. Abu Bakar ibn al-‘Arabi (w. 573 H/ 1148 M) berpendapat bahwa selain Sahabat Nabi SAW tidak diperkenankan meriwayatkan Hadits secara makna.
Baca Juga : Ratib al Attas
Alasan yang dikemukakan oleh Ibn al-‘Arabi adalah: pertama, Sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi (al-fashahah tua al-balaghah), dan kedua, Sahabat menyaksikan langsung keadaan dan perbuatan Nabi SAW.

Meringkas dan Menyederhanakan Matan Hadits

Selain perbedaan susunan kata-kata dan perbedaan dalam memilih kata-kata untuk redaksi suatu Hadits, permasalahan yang juga diperselisihkan oleh para Ulama dan berpengaruh terhadap redaksi matan suatu Hadits adalah mengenai tindakan meringkas atau menyederha-nakan redaksi dari suatu Hadits.
Sebagian Ulama ada yang mutlak tidak membolehkan tindakan tersebut. Hal itu sejalan dengan pandangan mereka yang menolak periwayatan Hadits secara makna. Sebagian lagi ada yang membolehkannya secara mutlak. Namun, kebanyakan Ulama Hadits dan merupakan pendapat yang terkuat adalah membolehkannya dengan persyaratan.

Perbedaan kandungan matan hadits

Periwayatan matan hadits dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

  1. Riwayat bi al-lafdzi, adalah menyampaikan kembali kata-kata Nabi dengan redaksi kalimat yang sama dengan apa yang disabdakan Nabi. Dengan periwayatan ini, maka tidak ada perbedaan antara perawi satu dengan perawi lainnya dalam menyampaikan hadits Nabi.
  2. Riwayat bi al-ma’na, periwayatan dengan makna yang terkandung dalam hadits namun redaksinya berbeda dengan yang diucapkan Nabi.

Cara kedua inilah yang menyebabkan timbulnya perbedaan kandungan matan hadits. Banyak sekali hadits yang ada di dalam kitab-kitab karya para perawi yang ditulis dengan redaksi yang sedikit banyak berbeda redaksi kalimatnya, meskipun makna yang dikandung sama.

Periwayatan ini telah terjadi sejak masa shahabat karena mereka tidak mencatat hadits pada saat mereka bersama Nabi SAW, juga tidak menghafal kata per kata Nabi, maka mereka menyampaikan dari apa yang mereka ingat saja.

Semua ulama hadits sepakat untuk menerima riwayat para shahabat meskipun berbeda-beda redaksi, alasannya adalah para shahabat memiliki pengetahuan bahasa yang tinggi dan para shahabat menyaksikan langsung keadaan dan perbuatan Nabi. Mayoritas ulama hadits juga membolehkan periwayatan bi al-ma’na yang dilakukan oleh para perawi selain shahabat dengan ketentuan:

Baca Juga : Ar Rahman Artinya

  1. mengetahui pengetahuan bahasa arab yang mendalam
  2. dilakukan karena terpaksa
  3. yang diriwayatkan bi al-ma’na bukan bacaan-bacaan bersifat ta’abbudi
  4. periwayatan bi al-ma’na sepatutnyaau nahwa hadza,atau yang semakna dengannya, setelah menyebut matan hadits
  5. kebolehan ini hanya berlaku sebelum masa pembukuan hadits secara resmi.

Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam memahami hadist ialah:

  • Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan,
  • Matan hadist itu sendiri dalam hubungannya dengan hadist lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang)

Baca Juga : Al Malik Artinya