Artinya ialah bahwa Allah berdiri sendiri dan tidak memerlukan pertolongan orang lain, mustahil memerlukan pertolongan orang lain. Kalau Ia memerlukan pertolongan orang lain maka Ia adalah lemah, tidak sempurna dan tidak berhak menjadi Tuhan. Tuhan Allah Kuasa, gagah, tegak, berdiri sendiri, tidak memerlukan pertolongan siapapun juga. Ia sudah sempurna tidak memerlukan apa-apa.
Seandainya seluruh manusia sepakat untuk menjadi kafir dan tidak menyembahNya, kesempuraanNya tidak berkurang. Begitu juga bila seluruh manusia berpakat untuk menyembah dan mengabdikan diri kepadaNya, kesempurnaanNya tidak bertambah. Allah tidak memerlukan ibadah atau apa saja dari makhluk ciptaanNya. Sebaliknya merekalah yang berhajat dan memerlukan pertolongan dari Allah setiap saat.Tanpa pertolongan Allah tidak mungkin makhluk akan ada, hidup dan berbuat apa saja.
Allah ciptakan makhluk seperti manusia, gunung, sungai, binatang dan lain-lain setidak-tidaknya ada 2 tujuan:
Allah ingin memperlihatkan kebesarannya,
Allah tidak berhajat pada itu semua. Allah ciptakan berbagai bagai, tetapi Allah hanya bermaksud menunjukkan Allah Maha Besar, Maha Agung, Maha Hebat dan lain-lain.
Keperluan makhluk itu sendiri. Apa yang Allah ciptakan itu, faedahnya kembali pada makhluk bukan kepada Allah.
Dalil Allah bersifat Qiyamuhu Binafsihi ini dalam Al-Quran:
Artinya: “Bahwasanya Allah tidak memerlukan makhluk”
(Al-Ankabut: 6)
ALLOH mempunyai sifat Qiyamuhu Binafsihi, yang artinya ALLOH itu BERDIRI SENDIRI (TIDAK MEMBUTUHKAN PERTOLONGAN). Dengan demikian, mustahil Dia membutuhkan pertolongan, karena hanya makhluk-Nya saja yang membutuhkan pertolongan. Jika Dia membutuhkan pertolongan, itu artinya Dia lemah, dan tidak layak menjadi Tuhan.
ALLOH Maha Kuasa, Maha Gagah, tegak berdiri sendiri, tidak membutuhkan apapun atau siapapun juga. Hal ini diperkuat dengan ayat-Nya dalam surat Al Ankabut(29):6,“Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”
Qiyamuhu Binafsihi
(Yaitu sipat yang kelima yang wajib dalam haqnya Alloh ta’ala)
Dan wajib dalam haqnya Alloh ta’ala yaitu sipat alqiyamu binnafsi, adapun maknanya alqiyamu binnafsi, yaitu sesungguhnya Alloh ta’ala tidak membutuhkan terhadap tempat dan tidak membutuhkan siapapun yang menentukannya, adapun perlawanannya sipat alqiyamu binnafsi yaitu al-ihtiyaju (butuh) terhadap tempat serta butuh terhadap yang menentukan.
Sedangkan dalilnya yang memperkuat atas sipat alqiyamu binnafsi “sesungguhnya (Alloh) seandainya kalau membutuhkan tempat maka terbukti bahwasannya Alloh hal-nya jadi sipat, kalau seandainya keberadaan Alloh hal-nya jadi sipat pasti mustahil. Selanjutnya kalau Alloh butuh terhadap sesuatu yang menentukanNya maka terbukti (Alloh) halnya baru, dan jikalau keberadaannya (Alloh) halnya yang baru pasti mustahil”►
Penjelasan.
Adapun kata wajib disini yaitu wajib aqli, dalam arti dapat dipahami oleh akal, kalau menurut salbiyahnya yaitu pasti serta dapat dipahami oleh akal ghorizi bahwa adanya Alloh tidak membutuhkan dzat atau orang yang menciptakanNya, serta adanya Alloh tidak membutuhkan terhadap sesuatu untuk “bertempat” (mendiami = menetap).
Yang dimaksud oleh kata (alqiyamu binnafsi) disini, bukannya Alloh berdiri yang asalnya tidak ada lalu dengan sendirinya menjelma. Tapi yang dimaksud oleh (alqiyamu binnafsi) yaitu Alloh berdiri sendiri oleh dzatNya sendiri, serta yang dimaksud dengan berdiri sendiri disini, yaitu:
Adanya tidak membutuhkan dzat atau orang yang menciptakan.
Adanya tidak membutuhkan dzat atau orang yang menentukan.
Adanya tidak membutuhkan suatu tempat untuk berdiam diri atau menetap.
Sipat (alqiyamu binnafsi) termasuk salah satu sipat salbiyah yakni adamiyah yang menjadi sipat oleh “tiada”nya, oleh karena itu hakikat wujudnya dzat Alloh tidak membutuhkan tempat untuk besemayan atau berdiam diri atau menetap, serta tidak membutuhkan siapapun yang menentukanNya.
Pejelasan : wa ma’nahu
Seumpamanya Alloh membutuhkan terhadap dzat atau seseorang yang menciptakan, atau membutuhkan suatu tempat untuk bersemayan, maka akan menimbulkan daur atau tasalsul yang keduanya mustahil terhadap Alloh.
Adapun definisi daur dan tasalsul:
Definisi Daur:
◄Menunggunya satu perkara terhadap perkara lainnya, yang mana perkara yang lainnya itu menunggu atas adanya itu perkara►
Seperti, menunggu tuhan yang kesatu atas diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua menunggu atas adanya diciptakan oleh tuhan yang ketiga, tuhan yang ketiga menunggu atas adanya diciptakan oleh tuhan yang pertama tadi. Terus-terusan mutar tidak ada berhentinya.
◄Mengikutinya suatu perkara atas satu (perkara) sesudah satu (perkara), Terhadap suatu perkara yang tidak ada ujungnya (akan perkara tersebut)►
Seperti, Alloh itu tuhan yang pertama diciptakan oleh tuhan yang kedua, tuhan yang kedua diciptakan oleh tuhan yang ketiga, tuhan yang ketiga diciptakan oleh tuhan yang keempat. Terus-terusan menyambung tidak ada ujungnya, bagaikan mata rantai yang tiada berujung.
Karena makna (alqiyamu binnafsi) tidak butuh tempat untuk bersemayan, maka tercabut dari Alloh semua perkara yang meliputi pertanyaan “DIMANA”, serta semua jawabannya dari jihat yang 10 (sepuluh):
Depan
Belakang
Kiri
Kanan
Atas
Bawah
Luar
Dalam
Nempel
Pisah
Oleh karena Alloh tersipati oleh sipat (alqiyamu binnafsi), maka batal i’tiqod yang menekadkan bahwa Alloh bersemayan di arasy, karena:
1. Seumpama Alloh bersemayan di arasy, tentunya Alloh butuh dengan arasy untuk berdiam diri, arasy-nya juga harus qodim serta serba maha karena akan ditempati serta dipakai untuk berdiam oleh dzat yang qodim yang serba maha, sedangkan mustahil ada mekhluk yang melebihi dari dzat yang serba maha.
2. Bertentangan dengan ayat:
◄Dan Dia-lah Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan (Yang disembah) di bumi►
◄Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya) tidak mengantuk dan tidak tidur►
(Qs 2 Al-Baqarah: 255)
8. Bertentangan dengan ayat:
◄Dan, Dia bersama kamu di mana saja kamu berada►
(Qs 57 Al-Hadiid: 4)
Adapun firman Alloh yang dimaksud dalam surat (20 Thaahaa ayat 5), begini:
◄Adapun Arrahman (Tuhan Yang Maha Pemurah), menata (miyara=sunda) terhadap `Arasy►
Makna tersebut adalah makna hakiki bukan makna majazi, karena makna istawa mempunyai 2 (dua) makna hakiki:
Makna qorib (dekat), makna yang sering dipakai, makna yang qorib ini dimustahilkan oleh ayat-ayat yang telah disebutkan tadi (dari 2 sampai 8).
Makna ba’id (jauh), makna yang jarang dipakainya, makna yang ini sesuai dan pas tidak bertentangan dengan ayat-ayat yang disebutkan tadi (dari 2 sampai 8)
Oleh karena itu, kalau seandainya menemukan satu lapad yang mempunyai dua makna (qorib&ba’id) terus dipakai dengan makna ba’id, maka kalam tersebut termasuk (kalamun badi’un tauriyyah) artinya suatu ungkapan yang indah.
Adapun jawaban Rosul ketika ditanya oleh seorang nenek-nenek, katanya:
Bilamana dipakai dengan makna qorib, maka makna tersebut akan lahir dengan artian “di langit”
Bilamana dipakai dengan makna ba’id, maka makna tersebut akan lahir dengan artian “di atas”
Oleh sebab itu, apabila kalimat “fissama'” seandainya dimaknaan dengan makna qorib akan menimbulkan pertentangan dengan ayat-ayat yang lainnya (seperti yg telah disebutkan diatas), maka kalimat “fissama'” dipakai dalam makna ba’id (dengan artian-diatas). Oleh karena makna “diatas” masih mengandung makna ikhtimal (adanya kemungkinan yang lain), maka makna “diatas” harus dita’wil/disalurkan.
Jadi artian __*Ainalloh? qola fissama’*__ begini arti keseluruhannya “Dimana Alloh itu? Rosul menjawab, ada diatas dalam martabatnya, dalam kekuasaanya” . tegasnya _fauqo kulli syai’in = diatas segala perkara_ Seperti firman Alloh dalam alqur’an:
◄Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya►
(Qs 6 Al-An’am: 18 & 61 )
Jadi yg dimaksud dengan kalimat __di-ATAS itu__ bukan menunjukan terhadap tempat, sebab Alloh tidak bertempat, tapi menunjukan diatas martabat kedudukan N kekuasaan Alloh.
Sorotan hukum syara’ terhadap wajib aqli, bahwa Alloh tersipati oleh sipat qiyamuhu binafsihi:
Hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang yang mukallaf mesti menekadkan terhadap wajib qiyamuhu binafsihi-nya di Alloh dengan resiko diberi pahala kalau menekadkan terhadap wajib qiyamuhu binafsihi-nya di Alloh, serta terpenuhi syaratnya iman. Dan disiksa orang yang mukallaf jika tidak menekadkan terhadap wajib qiyamuhu binafsihi-nya di Alloh, serta di cap orang kafir.
Hukum syara’ mewajibkan kepada setiap orang mukallaf mesti menekadkan atas mustahil ihtiaju-nya di Alloh, karena tidak sah menekadkan atas wajib qiyamuhu binafsihi-nya di Alloh saja kalau tidak dengan menekadkan atas mustahilnya ihtiaju-nya di Alloh.
Hukum syara’ memperkuat serta memberi dalil atas kebenarannya hukum akal, dengan firman Alloh didalam alqur’an:
◄Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup serta Yang Berdiri sendiri►
(Qs 2 Al-Baqarah: 255)
Dalil aqli-nya sipat alqiyamu binnafsi:
◄Sedangkan dalilnya yang memperkuat atas sipat alqiyamu binnafsi “sesungguhnya (Alloh) seandainya kalau membutuhkan tempat maka terbukti bahwasannya Alloh hal-nya jadi sipat, kalau seandainya keberadaan Alloh hal-nya jadi sipat pasti mustahil. Selanjutnya kalau Alloh butuh terhadap sesuatu yang menentukanNya maka terbukti (Alloh) halnya baru, dan jikalau keberadaannya (Alloh) halnya yang baru pasti mustahil”►
Dalam dalil aqli ini, ada kalimat (Alloh halnya jadi sipat), maksudnya yaitu:
Jadi yang benar, adalah sipat yang berdiri didalam dzat, contohnya ada sebuah tembok yang warnanya hijau, tembok itu adalah dzat yang disipati oleh sipat hijau, warna hijau jadi sipat dari sebuah tembok tersebut.
Andaikata Alloh itu bangsa sipat tentunya Alloh tidak akan tersipati oleh sipat ma’ani, serta tidak akan tersipati oleh sipat ma’nawiyah, karena sipat tidak akan berdiri didalam sipat.