Kata الجَيْسَpada contoh di atas, kedudukannya sebagai maf’ul ma’ah, sebab ia merupakan isim yang dinashobkan yang menyertai proses terjadinya “kedatangan presiden” pada kalimat (جَاءَ الأَمِيْرُ) dalam arti ketika presiden datang, maka tentara pun datang.
Kata الخَسَبَةَpun sama disebut maf’ul ma’ah, karena ia merupakan isim yang dinashobkan yang menyertai proses naiknya air yaitu ketika air itu naik, maka ukurannya pun secara berbarengan naik menyertai proses naiknya air tersebut.
Demikian pula dengan kata وَطُلُوْعَ الفَجْرِia bisa disebut dengan maf’ul ma’ah, karena ia adalah isim yang dinashobkan yang menjelaskan atau menunjukan bahwa ia itu menyertai proses terjadinya “bangun tidur” dalam arti ketika saya bangun tidur, fajar pun terbit.
Catatan: Wawu yang terletak sebelum maf’ul ma’ah disebut: Wawu maiyah ( الوَاوُ المَعِيَّة).
خَبَرْ كَانَ وَاَخَواتُهَا dan اِسِمْ اِنَّ وَاَخَواتُهَا telah dibahas dalam pembahasan mengenai المَرْفُوعَاتُ الاَسْمَاءِ ( isim-isim yang dirofa’kan ). Demikian juga tawabi’ ( kalimat yang suka mengikuti kepada I’rob kalimat yang sebelumnya ) telah dibahas di dalam pembahasan tersebut.
Syarat menjadi maf’ul maah adalah sebagai berikut:
Pertama: Sebelum maf’ul ma’ah tersebut berupa jumlah.
Tidak bisa menjadi maf’ul ma’ah apabila sebelumnya bukan merupakan jumlah mufidah. Contoh:
سِرْتُ وَالنَّيْلَ
سَارَ عليُّ والْجَبَلَ
Kedua: Isim yang menjadi maf’ul ma’ah merupakan fudhlah.
Artinya maf’ul ma’ah tersebut sebagai pelengkap atau tambahan dari peristiwa yang terjadi. Dengan demikian, tanpa maf’ul ma’ah pun kalimat sebelumnya sudah mafhum dan sempurna maknanya.
Dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.
Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.