Resensi Novel Anak Semua Bangsa

Diposting pada
3/5 - (322 votes)

Resensi Novel Anak Semua Bangsa

Resensi novel Anak Semua Bangsa hasil karya Pramoedya Ananta Toer ini mengangkat berbagai tema. Cerita menggambarkan kehidupan di masa penjajahan kolonial Belanda di Indonesia sehingga masih memuat nilai-nilai sejarah.

Baca Juga : Resensi Novel 5 Cm


Identitas Buku

Kategori Keterangan
Judul Anak Semua Bangsa
Pengarang Pramoedya Ananta Toer
Penerbit Hasta Mitra
Jumlah halaman 404 halaman
ISBN 979865139
Tahun terbit 1980 (Cetakan pertama)

Resensi Novel Anak Semua Bangsa

Baca Juga : Resensi Novel Perahu Kertas

Berbagai masalah mulai dialami Minke, ningrat yang merupakan putra Bupati Bojonegoro. Ia harus membayar konsekuensi dari pilihannya. Ia seharusnya memperoleh pendidikan khas Eropa guna meneruskan ayahnya.

Namun, Minke justru memutuskan menjadi seorang manusia yang merdeka dan bisa melakukan segala sesuatunya sesuai kata hatinya. Hal ini seperti kata sahabatnya bernama Jean Marais yang memiliki pondasi berpikir berdasarkan revolusi Prancis.

Ia terpesona dengan ide revolusi tersebut karena bisa menyulap semua tatanan di negara yang terkenal dengan menara eiffel ini dalam sekejap.

Berhasil menyelesaikan pendidikan di Hoogere Burger School adalah suatu kebanggaan karena sekolah tersebut hanya diperuntukkan bagi orang Eropa, Belanda dan elite pribumi. Terlebih bahasa pengantarnya adalah Belanda sehingga meninggikan derajat pribumi.

Sebelum lulus, Minke memperoleh anugerah yang luar biasa.  Ia juga mampu menaklukkan hati gadis putri administrateur Belanda dan nyai jelita bernama Annelies Mellema. Minke memberi nama Annelies sebagai “Bunga penutup abad.”

Sebagai putra ningrat, Minke harus mengalami sistem kolonial. Ia sadar hidup di sebuah alam yang penuh sekat di mana manusia Eropa adalah dewa dari segalanya. Kemajuan ilmu pengetahuan yang dimiliki bangsa Eropa mampu menguasai dua pertiga dari bumi.

Baca Juga : Resensi Novel Serena

Tampak pada adegan saat Minke bertamu ke rumah calon mertuanya dengan balutan pakaian Eropa, kemeja dengan jas dan rompi serta berkopiah blangkon untuk menunjukkan entitas Jawanya. Ia menyapa menggunakan bahasa Belanda dengan sopan. Namun, semua itu justru dibalas hardik.

Herman Mellema bahkan sampai membentak dengan kata-kata kasar “Kowe ini monyet!” dan lain sebagainya. Minke menyadari bahwa keluarga silang calon mertuanya itu memiliki banyak konsekuensi.

Nyai Ontosoroh dinikahi bukan karena cinta melainkan hasil rampasan karena saat itu Herman menjabat sebagai administrateur pabrik gula di Sidoarjo.

Nyai adalah sebutan bagi perempuan yang menjadi piaraan tuan Belanda. Sebutan itu membuat derajat seorang wanita rendah di mata pribumi. Namun, berbeda dengan Nyai Ontosoroh yang mendapat pendidikan, pengetahuan dan berkesempatan mengembangkan perusahaan.

Nyai semakin berkembang, mandiri dan cerdas. Ia mempunyai dua anak bernama Robert Mellema dan Annelies Mellema yang menjadi istri Minke.

Sangat disayangkan hukum kolonial Belanda selalu berskenario tunggal bahwa Eropa memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan pribumi. Hal ini terjadi saat anak Herman bersama istri pertamanya di Belanda menuntut warisan, nyai dan Minke tidak bisa berkutik.

Setelah kepergian istrinya, Minke mulai sadar akan sesuatu. Ia mulai menaruh perhatian terhadap Jepang, satu-satunya negara di benua Asia yang memiliki derajat sama dengan Eropa. Pemuda Jepang banyak yang belajar di Eropa kemudian mempraktekkan ilmu yang diperoleh di negaranya.

Kemudian, perhatiannya beralih kepada aktivis Tiongkok bernama Khow Ah Soe yang dianggap sebagai perusak kemapanan bangsanya. Akibatnya, terpaksa pergi dari negaranya karena dianggap buronan. Padahal niatnya baik untuk mengingatkan bangsanya terhadap hegemoni luar negeri.

Suatu hari Minke bertemu jurnalis bernama Kommer. Peranakan Eropa tersebut secara frontal mengatakan Minke tidak mengenal bangsanya. Pernyataan ini tidak diterima Minke.

Namun, saat menantang dirinya sendiri agar mampu membaca kondisi laki-laki pemikul kacang tanah, ia tidak bisa mengetahui berapa penghasilannya, berapa jumlah panennya dan lain sebagainya. Akhirnya Minke mengakui apa yang didakwakan oleh Kommer. Ia pun sangat malu.

Demi membayar kekecewaannya, Ia melakukan berbagai blusukan kecil di daerah perkebunan tebu tepatnya di Tulangan, Sidoarjo. Perkebunan tersebut sebenarnya merupakan lahan produktif warga.

Para petani justru terintimidasi akibat mempertahankan lahannya. Minke menjadi tahu bahwa keberadaan pabrik gula justru membuat masyarakat sengsara. Lalu, ia menginap di gubuk Trunodongso (yang merupakan salah satu petani) untuk mendapatkan berbagai informasi.

Saat Minke melakukan perjalanan ke Batavia dengan kapal Oosthoek, ia bertemu Ter Haar. Orang Belanda tersebut mengatakan bahwa di zaman modern, setiap orang diperintah modal besar. Penjajahan yang dilakukan bangsa Eropa sebenarnya adalah untuk mencukupi kebutuhan modal.

Modal dapat memunculkan kesengsaraan dan bencana. Minke diwanti-wanti, jika penderitaan timbul akibat ulah manusia maka bukan disebut bencana alam. Manusia pasti dapat melawannya.

Minke memilih menulis sebagai cara untuk melawan. Ia tidak berhenti menulis meski ditolak oleh redaktur.


Kelebihan Novel

Baca Juga : Resensi Novel Laskar Pelangi

Tema yang diusung banyak menyajikan pelajaran hidup yang bisa dipetik pembaca karena mengandung nilai-nilai sosial, budaya, politik dan sejarah.

Dalam membuat resensi novel Anak Semua Bangsa ini Anda wajib membaca dan memahami secara utuh ceritanya. Hal ini tentu tidak mudah mengingat cerita juga mengandung unsur-unsur sejarah, namun resensi ini mampu menggambarkannya dengan sangat baik.